Dalam Standar Profesi Akuntansi Publik
2001 SA Seksi 230 menyatakan skeptisme profesional auditor sebagai suatu sikap
yang mencakup pikiran yang selalu mempertanyakan dan melakukan evaluasi secara
kritis terhadap bukti audit. Skeptisme Profesional memampukan auditor bersikap
lebih kritis dalam melakukan audit, mereka harus memiliki bukti terlebih dahulu
sebelum mempercayai sesuatu hal. Sikap ini juga memungkinkan auditor untuk
mengetahui alasan dibalik tindakan curang seseorang dan memampukan auditor
untuk melawan hasutan dari seorang lain yang akan mempengaruhi keputusannya.
Wooten (2003) menyebutkan bahwa kualitas
audit sulit untuk diteliti, karena itu peneliti selama ini melihat pada
indikator (surrogates)
dari kualitas audit atau karakter/atribut yang diduga menentukan kualitas audit
itu. Dalam penelitiannya ada dua karakteristik yang menetukan kualitas audit
dan ternyata karakteristik yang melekat pada tim audit lebih penting daripada firm-wide factors.
Beberapa faktor-faktor yang
mempengaruhi kualitas kinerja audit dan kualitas kinerja audit diartikan
sebagai efektifitas didalam pencapaian tujuan audit yang tertuang dalam SAP
mengatur ketepatan waktu secara khusus dalam standar pelaporan kedua: ”Auditor
harus dengan semestinya menerbitkan laporan untuk menyediakan informasi yang
dapat digunakan secara tepat waktu oleh manajemen, dan pihak lain yang
berkepentingan”, efektifitas pencapaian tujuan audit dapat dipengaruhi oleh
beberapa faktor diantaranya adalah kinerja tim audit (Putra Djaja, 2002).
Suksesnya audit sangat erat terkait dengan kinerja tim audit serta supervisi
oleh pengendali teknis dan pengendali mutu. Tim audit dituntut untuk dapat
mengetahui standar waktu dan peneliti membatasinya yaitu kualitas kinerja audit
ditinjau dari independensinya, yang merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi kualitas kinerja.
1. Komposisi
Tim
Komposisi tim audit merefleksikan
penerapan standar umum pertama dari Standar Audit Pemerintahan (SAP): “Staf
yang ditugasi untuk melaksanakan audit harus secara kolektif memiliki kecakapan
profesional yang memadai untuk tugas disyaratkan”, begitu pula halnya standar
umum pertama Standar Prosfesional Akuntan Publik (SPAP): “Audit harus
dilaksanakan oleh seseorang atau lebih yang memiliki keahlian dan pelatihan
teknis yang cukup sebagai auditor”.
Penyusunan tim audit, berusaha
menempatkan pegawai yang berasal dari unit kerja kompeten (unit kerja pengusul
obyek audit) dan tetap dimungkinkan untuk menggunakan pegawai yang berasal dari
unit kerja lain, baik sebagai ketua/ pemimpin tim ataupun sebagai anggota tim.
Suatu komposisi tim audit
merefleksikan kehandalan suatu tim dalam melaksanakan dan menyelesaikan suatu
penugasan. Setidaknya ada dua faktor yang dapat dijadikan
perhatian/pertimbangan dalam penyusunan tim adalah:
a. Latar belakang pendidikan serta
pelatihan anggota tim
Auditor merupakan profesi yang mensyaratkan tingkat
pendidikan dan keahlian tertentu. Keahlian sebagian diperoleh dari pendidikan
yang didapat baik dari pendidikan akademik maupun pendidikan profesi. SAP
mengharuskan organisasi/ lembaga audit mempunyai program pendidikan dan
pelatihan berkelanjutan bagi stafnya. Pendidikan dan pelatihan berkelanjutan
sangat penting bagi auditor untuk meningkatkan keahlian dan profesionalismenya
sehingga dapat mengikuti perkembangan audit mutakhir. Peningkatan
profesionalisme akan berpengaruh pada peningkatan kualitas audit. Penelitian
Deis and Giroux (1992) menujukkan pendidikan (education) merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas
audit. Beragamnya jenjang pendidikan (D-3 hingga S-2) dan bidang studi pilihan
(akuntansi dan non akuntansi) mencerminkan kemampuan masing-masing anggota tim
dalam memberikan kontribusi pada kinerja tim secara keseluruhan.
SPAP dalam standar umum ketiga
mewajibkan auditor menjalani pelatihan teknis, karena untuk menyatakan pendapat
(opini) auditor harus senantiasa sebagai ahli dalam bidang akuntansi dan
auditing. Pencapaian keahlian diawali dari pendidikan formal dan diperluas
melalui pengalaman dalam praktik audit dan melalui pelatihan teknis yang cukup
(dalam artian memadai baik dari sisi aspek teknis maupun pendidikan umum).
Dengan pengalaman akuntan dapat meningkatkan keahlian
profesionalnya baik berupa keahlian teknis maupun dalam membuat pertimbangan
audit (audit judgment).
Pengalaman mempengaruhi kualitas audit, paling tidak ada dalam kualitas
pertimbangan audit. Pengalaman biasanya diukur dari lamanya akuntan bekerja
sebagai auditor atau menurut jenjang struktural tertentu, walaupun sebenarnya
kurang dapat dijadikan ukuran yang tepat untuk ukuran tingkat pengalaman
auditor. Secara umum memang, usia dan pengalaman dapat menunjukkan kedewasaan
dan kemampuan seseorang dalam memahami bentuk penugasan yang harus dilakukan.
Tetapi masa kerja dan pengalaman dapat juga berarti sebaliknya (kontradiktif).
Hal ini diungkapkan dalam Stephen P. Robbins, (1996 dalam Putra Djaja, 2002)
yang menyatakan mengenai masa kerja dan usia:
“…there
is a widespread belife that job performance declines with increasing age.Regardless of whether it’s true or not, a lot of
people believe it and act on it.”
………bahwa ada kepercayaan bahwa
kinerja seseorang menurun seiring dengan meningkatnya umur, entah benar atau
salah namun kenyataannya banyak orang mepercayainya dan berlaku seperti itu.
Pengalaman merupakan faktor penting,
dibuktikan dari penelitian Neni Meidawati (2001, dalam Widagdo, Lesmana dan
Irwadi, 2002) bahwa tingkat kesalahan yang dibuat auditor yang tidak
berpengalaman lebih banyak daripada auditor yang berpengalaman. Lebih lanjut
Tubs (1992 dalam, Lestari 2003) masih di dalam jurnal yang sama, menyebutkan
bahwa auditor yang berpengalaman akan memiliki keunggulan dalam tiga hal:
mendeteksi kesalahan, memahami kesalahan secara akurat dan mencari penyebab
kesalahan.
Demikian juga menurut penelitian
Utami dan Mardiasmo (1991, dalam Lestari 2003 ) yang menguji pengaruh
pengalaman mengaudit laporan keuangan terhadap mutu pertimbangan audit dengan menggunakan
sampel mahasiswa, akuntan yunior dan akuntan senior. Hasil penelitian
menujukkan bahwa pengalaman mengaudit laporan keuangan mempunyai pengaruh yang
signifikan terhadap mutu pertimbangan audit. Pengalaman pelatihan dan
pendidikan lanjutan juga ikut mempengaruhi mutu pertimbangan audit dengan
sumbangan efektif sampai 36%.
2. Integritas
dan Obyektivitas
Arens, Elder & Beasley (2003:81) dalam AICPA
Code
of Professional Conduct, menyebutkan :
“Integrity: to maintain and broaden public
confidence, member
should perform all professional responsibilities with the highest sense
of integrity. Objectivity, a member should maintain objectivity and be free of
conflict of interest in discharging professional responsibilities.
Definisi prinsip diatas, memberikan
gambaran prinsip integritas bahwa seorang auditor harus melaksanakan seluruh professional responsibilities mereka dengan semangat integritas
yang paling tinggi untuk menjaga dan memperoleh kepercayaan publik. Prinsip
Objektivitas, auditor harus tetap obyektif dan bebas dari konflik kepentingan.
Aturan Etika Kompertemen Akuntan
Publik butir 102 menyebutkan: ”Dalam menjalankan tugasnya, anggota KAP harus
mempertahankan integritas dan obyektifitas, harus bebas dari benturan
kepentingan (conflict of interest) dan tidak boleh membiarkan faktor
salah saji material (material misstatement) yang diketahuinya atau mengalihkan
(mensubordinasikan) pertimbangannya kepada pihak lain.”
3. Program
Audit
Program audit merupakan wujud dari
perencanaan audit. Didalamnya memuat tujuan dan lingkup audit serta metodologi
yang dipergunakan untuk merealisasikan tujuan tersebut.
Panduan Manajemen Pemeriksaan (PMP)
menyatakan hakekat perencanaan sebagai suatu proses pengidentifikasian peluang
dan kendala yang akan terkait atau yang akan dihadapi dalam upaya mencapai
tujuan yang telah ditetapkan.
Terkait dengan perencanaan baik SAP
maupun SPAP mengharuskan: “Pekerjaan harus direncanakan dengan sebaik-baiknya
dan jika digunakan tenaga asisten harus disupervisi dengan semestinya. Dengan
lebih memprioritaskan aspek perencanaan, maka setiap pekerjaan audit harus
direncanakan dengan sebaik-baiknya dengan mempertimbangkan antara lain:
materialitas, sifat, waktu, dan luasnya prosedur audit serta mengevaluasi hasil
prosedur audit tersebut. Selain itu untuk mendukung kepentingan perencanaan
dikemudian hari SAP menegaskan bahwa: “Auditor harus mengikuti tindak lanjut
temuan audit yang diketahuinya material beserta rekomendasinya, yang berasal
dari audit sebelumnya.”
Dengan demikian baik buruknya
kesiapan perencanaan audit setidak-tidaknya dapat dicermati dari program audit
yang disusun. Program audit sendiri tidak selalu seragam baik dalam bentuk
maupun dalam isinya antara lembaga/ institusi penyelenggara audit. Idealnya
program audit mengandung unsur-unsur sebagai berikut (Pany dan Whittington dalam Putra Djaja, 2002):
a.
Description of the client company. Its
structure, business, and organization;
b. Objective
of the audit (e.g. audit for stockholder, special – purpose audit, SEC filing);
c. Nature
and extant of other services, such as preparation of tax return, to be performed
for the client;
d. Timing
and schedulling of the audit work, Including determining which procedure may be
performed before the balance sheet date, what be be done or after the balance
sheet date, and setting dates for such critical procedures as cash count,
account receivable confirmations, and inventory observation;
e. Work
to be done by the clients staff;
f.
Staffing requirements during the engagement;
g. Target
dates for completing major segments of the engangements, such as the
consideration of internal control, tax returns, the audit report, and SEC
filings;
h. Any
special audit risk for the engagement;
i.
Preeliminary Jugmen about materiality levels for
the enggement.
4.
Supervisi
Standar audit SPAP dan SAP
mengharuskan pekerjaan harus direncanakan dengan sebaik-baiknya dan jika
digunakan tenaga asisten harus disupervisi dengan semestinya. Supervisi
mencakup pengarahan kegiatan auditor dan pihak lain (misalnya konsultan dan
spesialis luar) yang terlibat dalam audit untuk menentukan apakah tujuan audit
dapat dicapai. Unsur supervisi meliputi pemberian instruksi kepada anggota
staf, pemberi informasi mutakhir tentang masalah signifikan yang dihadapi,
pelaksanaan review atas pekerjaan yang dilakukan dan pemberian pelatihan kerja
lapangan (on the job training)
yang efektif.
Supervisi merupakan salah satu
elemen pengendalian kualitas dan prosedur review (quality control and review procedures). Kekuatan pengendalian kualitas
dan prosedur review ikut mempengaruhi kualitas audit. Selain itu kemampuan
supervisor juga mempengaruhi kualitas audit (Deis and Giroux, 1992). Penelitian
tersebut diperkuat oleh penelitian Meier dan Fuglister (1992 dalam Putra Djaja
2002) yang membuktikan bahwa supervisi dan training adalah rekomendasi paling
penting menurut anggapan auditor dan klien untuk meningkatkan kualitas audit.
Supervisi dapat membuat auditor berkonsentrasi pada area yang memiliki risiko
tinggi. Putra Djaja (2002) juga membuktikan bahwa supervisi merupakan faktor
penunjang kinerja tim yang paling mempengaruhi dari kelima faktor lainnya
terhadap efektifitas pencapaian tujuan audit.
Accounting Education Change Commision (AECC) melalui issues statement No.4 (recommendations for
supervisor of early work experience), merekomendasikan pada supervisor akuntan pemula untuk
melaksanakan supervisi dengan tepat khususnya dalam tiga aspek utama
sebagaimana dinyatakan oleh AECC berikut:
a.
Supervisor
hendaknya menujukkan sikap kepemimpinan dan mentoring yang kuat, rincian
aktifitas yang disarankan oleh AECC adalah:
1.
Supervisor
sering memberikan feedback yang jujur, terbuka dan interaktif kepada akuntan pemula
dibawah supervisinya;
2.
Supervisor
mempertahankan pesan-pesan tak langsung dari akuntan pemula dan jika yang
disampaikan adalah ketidakpuasan, secara langsung supervisor menanyakan keadaan
dan penyebabnya;
3.
Supervisor
meningkatkan konseling dan mentoring, misalnya dengan memberikan pujian
terhadap kinerja yang baik, memperlakukan akuntan pemula sebagai profesional,
membantu akuntan pemula untuk mengenali peluang kerja masa datang dan
memperdulikan minat serta rencana akuntan pemula;
4.
Supervisor
dituntut mampu menjadi panutan sebagai profesional dibidangnya, mampu
menumbuhkan kebanggaan akan profesi dan mampu menunjukkan kepada klien dan
masyarakat akan peran penting profesi yang digeluti tersebut.
b.
Supervisor
hendaknya menciptakan kondisi kerja yang mendorong tercapainya kesuksesan,
rincian aktivitas yang disarankan oleh AECC adalah:
1.
Menumbuhkan
sikap/ mental pada akuntan pemula untuk bekerja dengan benar sejak awal dan
menciptakan kondisi yang memungkinkan hal itu terjadi.
2.
Mendistribusikan
tugas dan beban secara adil dan sesuai dengan tingkat kemampuan akuntan pemula;
3.
Meminimalkan
stress
yang berkaitan dengan pekerjaan.
c.
Supervisor
hendaknya memberikan penugasan yang menantang dan menstimulasi terselesaikanya
tugas. Rincian aktivitas yang disarankan AECC adalah:
1.
Supervisor
mendelegasikan tanggung jawab sesuai kemampuan dan kesiapan akuntan pemula;
2.
Memaksimalkan
kesempatan akuntan pemula untuk menggunakan kemampuan verbal, baik lisan maupun
tulisan, berpikir kritis dan menggunakan teknis analitis serta membantu akuntan
pemula untuk meningkatkan kemampuan tersebut.
Memadai/ tidaknya
supervisi dalam suatu
penugasan tergantung pada banyak
faktor, termasuk didalamnya kompleksitas permasalahan dan kualifikasi orang
yang melaksanakan penugasan audit.
5.
Kepuasan Kerja
Kepuasan kerja adalah suatu sikap
seseorang terhadap pekerjaan sebagai perbedaan antara banyaknya ganjaran yang
diterima pekerja dan banyaknya yang diyakini seharusnya diterima. Hal ini
dikemukakan Robbins (1996, dalam Trisnaningsih dan Iswati, 2003), lebih lanjut
menurut peneliti tersebut (dalam Putra Djaja, 2002) determinan dari kepuasan
kerja adalah: ”mentally challenging work, equitable rewords,
supportive working
conditions, supportive colleagues”, sebagai berikut:
a.
Pekerjaan
yang menantang (mentally challenging work), pelaksana cendrung menerima
penugasan yang memungkinkan mereka untuk memanfaatkan keahlian dan kemampuannya
serta menawarkan beragam tugas, kebebasan clan umpan balik atas prestasi
kerjanya.
b.
Kondisi
kerja yang kondusif (supportive working conditions), pelaksana sangat peduli dengan
lingkungan kerja yang menawarkan kenyamanan dan mendukung terciptanya prestasi
kerja yang baik.
c.
Dukungan
rekan kerja (supportive colleagues), pelaksanaan tidak hanya berfokus
pada uang tetapi juga membutuhkan interaksi sosial (social need). Tidak mengherankan jika untuk mencapai dan meningkatkan kepuasan kerja mereka bersikap
bersahabat dan kooperatif (supportive worker).
d.
Kompensasi
yang memadai (equitable rewards), pelaksanaan mengharapkan adanya sistem pembayaran dan kebijakan promosi
yang menunjang dan sejalan dengan harapan mereka. Kewajaran pembayaran biasanya
disesuaikan dengan penugasan, tingkat keahlian dan standar yang berlaku.
Vroom (1964, dalam Trisnaningsih dan
Iswati, 2003) menjelaskan bahwa kepuasan kerja dapat mengharapkan kepada sikap
positif terhadap kemajuan suatu pekerjaan. Luthans (1995) dalam jurnal yang
sama menyatakan bahwa kepuasan kerja memiliki tiga dimensi. Pertama, bahwa
kepuasan kerja tidak dapat dilihat tetapi hanya diduga. Kedua, kepuasan kerja
sering ditentukan oleh sejauh mana hasil kerja memenuhi atau melebihi harapan
seseorang. Ketiga, kepuasan kerja mencerminkan hubungan dengan berbagai sikap
lainnya daripada individual.
Berbagai hal dapat mempengaruhi
kepuasan kerja, misalnya upah dan promosi, supervisi yang diterima dan kepuasan
dengan rekan sekerja. Dalam perencanaan audit telah dianggarkan tentang
besarnya biaya audit. Tim auditor menggunakan dana sebatas pada anggaran yang
sudah tertuang pada rencana audit.
Kepuasan kerja juga dipengaruhi oleh
fungsi dan kedudukan karyawan dalam organisasi, seperti yang diungkapkan Basset
(1995, dalam Myrna Nurahma dan Indriantoro, 2000). Lebih lanjut disebutkan
bahwa karyawan pada kedudukan yang tinggi merasa lebih puas karena memiliki
otonomi yang lebih besar, pekerjaannya lebih bervariasi dan memiliki kebebasan
melakukan penilaian. Karyawan level bawah lebih besar kemungkinannya mengalami
ketidakpuasan dan kebosanan karena pekerjaan yang kurang menantang dan tanggung
jawab yang kecil.
Albrecrt dan Brown (1981, dalam
Nurahm dan Indriantoro, 2000) menunjukan bahwa kepuasan kerja akuntan pemula
lebih rendah dibandingkan manajer atau partner dan kepuasan kerja tertinggi
dialami oleh partner.
6.
Profesionalisme
Dalam kamus bahasa Indonesia yang baku, menurut
A.Th.Soetedjo (2003) kata “Profesionalisme” berasal dari kata profesi yang
mempunyai arti
“Bidang pekerjaan yang dilandasi
pendidikan keahlian (keterampilan, kejujuran,
dan sebagainya) tertentu”. Selanjutnya profesionalisme adalah mutu,
kualitas, dan tindak-tanduk yang
merupakan ciri suatu profesi atau orang yang ahli
dibidangnya, atau profesional; sedangkan profesional memiliki beberapa pengertian, yaitu: (1) bersangkutan dengan profesi, (2) memerlukan
kepandaian khusus untuk menjalankannya, (3) mengharuskan adanya pembayaran
untuk melakukannya (lawan kata amatir).
Seiring dengan meningkatnya kompetensi
dan perubahan glonal, profesi akuntan/ auditor saat ini dan masa
mendatang menghadapi tantangan yang semakin
berat sehingga menjalankan aktivitasnya seorang auditor dituntut untuk
selalu meningkatkan profesionalisme. Ada
tiga hal utama menurut Machfoedz (1997, dalam Winarna
dan Retnowati 2003) yang harus dimiliki oleh setiap anggota profesi dalam
mewujudkan profesionalismenya yaitu berkeahlian, berpengetahuan dan
berkarakter.
Penelitian yang dilakukan Deis dan
Giroux (1992) yang meneliti determinan kualitas audit disektor publik menujukkan
bahwa kualitas audit meningkat seiring meningkatnya jumlah klien tetapi menurun
seiring dengan masa jabatan auditor, juga disampaikan bahwa faktor peer
review, jam
kerja dan laporan waktu juga meningkatkan kualitas audit.
7. Komitmen
Organisasi
Konsep komitmen organisasi telah
didefinisikan dan diukur dengan berbagai cara yang berbeda. Robbins (2003)
mengemukakan komitmen organi-sasi merupakan salah satu sikap yang merefleksikan
perasaan suka atau tidak suka terhadap organisasi tempat bekerja. Komitmen
organisasi merupakan suatu keadaan atau tingkatan sejauh mana seorang karyawan
memihak pada suatu organisasi tertentu dan tujuan-tujuannya, serta berniat
memelihara keanggotaan dalam organisasi itu. Konstruksi dari komitmen
organisasi memusatkan perhatian kepada kesetiaan karyawan terhadap organisasi.
Ketika karyawan memiliki komitmen terhadap organisasi maka mereka akan suka
bekerja dengan organisasi tersebut.
Komitmen organisasi didalam
literatur akuntansi didefenisikan sebagai: (1) keyakinan yang kuat dan
penerimaan terhadap tujuan dan nilai-nilai organisasi; (2) kesediaan untuk
berusaha yang keras atas nama organisasi; dan (3) keinginan yang kuat untuk
meme-lihara keanggotaan dalam organisasi (Aranya et al., 1981; Harrell et al.,
1986). Meyer dan Allen (1984) mengembangkan sebuah model komitmen organisasi
yang terdiri dari tiga komponen, yaitu (1) Affective
commitment, dimana seseorang memiliki
ikatan emosional terhadap organisasi
dan menjadi bagian dari organisasi tersebut; (2) Continuance commitment, berarti seseorang menyadari biaya-biaya
yang timbul jika meninggalkan suatu organisasi; dan (3) Norma-tive commitment mengacu pada perasaan dan kewajiban terhadap suatu organisasi.
Selanjutnya, Meyer et al. (1993) mengemukakan adanya
faktor-faktor yang mempengaruhi komponen komitmen organisasi. Job conditions dan met expectations adalah
faktor-faktor yang menimbulkan affective
commitment. Karyawan merasa memiliki nilai-nilai
yang sama dengan organisasi. Continuance
commitment timbul dari manfaat yang
diperoleh, seperti gaji dan
tersedianya pekerjaan. Hal ini juga berarti kemauan individu untuk tetap
bertahan dalam organisasi karena tidak menemukan pekerjaan lain atau karena
penghargaan ekonomi tertentu. Sedang-kan normative
commitment dihasilkan dari nilai-nilai individu karyawan, adanya kesadaran
bahwa berkomitmen terhadap organisasi merupakan hal yang memang seharusnya
dilakukan oleh seorang karyawan. Karyawan akan tetap bekerja atau menjadi
anggota organisasi walaupun merasa tidak puas, karena ada kesadaran bahwa
komitmen terhadap organisasi adalah kewajiban.
Dapat disimpulkan bahwa anggota
organisasi dengan komitmen yang tinggi akan bersedia mengerahkan cukup banyak
usaha meningkatkan prestasi kerjanya semaksimal mungkin demi tercapainya kepentingan
organisasi. Komitmen organisasi dapat dianggap sebagai faktor pendukung yang
penting bagi prestasi kerja yang dihasilkan. Pengukuran ketiga dimensi komitmen
organisasi sebagai variabel independen dengan self-report scales menggunakan parameter yang dikembangkan oleh
Meyer dan Allen (1984).
8. Prestasi
Kerja
Prestasi kerja adalah ukuran
mengenai apa yang tidak dan apa yang dikerjakan oleh karyawan. (Luthans, 1995).
Prestasi kerja memerlukan evaluasi periodik untuk dikonfirmasikan dengan
standar kinerja. Tujuan evaluasi prestasi kerja adalah untuk membuat
keputusan-keputusan tentang penempatan personil secara umum, mengidentifikasi
kebutuhan akan pelatihan dan kriteria pengembangan, serta sebagai dasar
pengalokasian penghargaan reward.
Larkin dan Schweikart (1992)
melakukan survei yang hasilnya menunjukkan bahwa prestasi kerja berhubungan
dangan kepuasan kerja dan komitmen terhadap organisasi. Prestasi kerja
berkaitan erat dengan tujuan, sebagai suatu hasil perilaku kerja seseorang.
Prestasi kerja sebagai hasil pola tindakan yang dilakukan untuk mencapai tujuan
sesuai dengan standar prestasi, kualitatif maupun kuantitatif, yang telah
ditetapkan oleh individu secara pribadi maupun oleh perusahaan tempat individu
bekerja.
Berdasarkan beberapa penjelasan
diatas, maka dapat disimpulkan bahwa prestasi kerja adalah hasil yang dicapai
oleh seseorang menurut ukuran yang berlaku untuk pekerjaan yang bersangkutan.
Seringkali dijum-pai istilah yang tumpang tindih antara prestasi kerja dengan
produktivitas. Dibandingkan dengan produk-tivitas, prestasi kerja lebih sempit
sifatnya, yaitu hanya berkenaan dengan apa yang dihasilkan oleh seseorang dari
tingkah laku kerjanya. Prestasi kerja pada dasarnya dipengaruhi oleh dua
faktor, yaitu faktor individu dan faktor situasi. Prestasi kerja setiap orang
berbeda dalam suatu situasi tertentu, hal tersebut disebabkan karena adanya
perbedaaan karakteristik dari individu, dan juga orang yang sama dapat
menghasilkan prestasi kerja yang berbeda di dalam situasi yang berbeda pula.
Untuk mempermudah pengukuran
prestasi kerja, Maier (1965, dalam Agustia, 2005) mengelompok-kan pekerjaan
menjadi dua jenis, yaitu (1) pekerjaan produksi, dimana kuantitatif orang bisa
membuat standar yang objektif, dan (2) pekerjaan non produksi, dimana penentuan
sukses tidaknya seseorang di dalam tugas biasanya didapat melalui human judge-ments atau pertimbangan
subjektif. Ada beberapa cara yang
lazim ditempuh untuk hal tersebut, antara lain melalui penilaian oleh atasan,
teman (peer rating), dan juga self rating.
Secara garis besar dapat dikatakan
bahwa pengukuran prestasi kerja tergan-tung kepada jenis pekerjaannya dan
tujuan organisasi perusahaan yang bersangkutan.
Definisi prestasi kerja pada
penelitian ini bersifat evaluasi mandiri (self
evaluation) terhadap pekerjaan yang telah dilakukan. Untuk mengukur
variabel prestasi kerja sebagai variabel dependen digunakan instrumen yang
dikembangkan oleh Kalbers dan Fogarty (1995), yang meliputi aspek kompetensi
(kualitas pelaksanaan audit), tanggung jawab (disiplin waktu, solusi dan
rekomendasi bagi auditee), integritas (inisiatif, kreativitas, dan hasil
akhir), objek-tivitas (keterlibatan), dan independensi auditor. Dikombinasikan
dengan instrumen yang dikembang-kan oleh Borman dan Motowidlo (1993).